Kamis, 07 April 2011 di 00.07 |  
cikal Bakal Ombudman
institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, meskipun demikian pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan (seperti) Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman kekaisaran Romawi terdapat insitusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model pengawasa seperti Ombudsman juga telah banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina (Pope: 1999:115) dan yang paling menonjol adalah ketika pada tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawasan bernama Control Yuan atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintahan) dan sebagai "perantara" bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi,laporan atau keluhan kepada Kaisar (Gilling:1998).

Menurut Deean M Gottehrer 1 pada dasarnya Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal tersebut dapat dilkihat pada masa Khalifah Umar )634-644) yang saat itu memposisikan diri sebagai Muhtasib,yaitu orang yang menerima keluhan dan termasuk dapat menyelesaikan perselisihan )antara masyarakat dengan pejabat pemerintah). Tugas sebagai Muhtasib dijalankan Khalifah Umar dengan melakukan "penyamaran" mengunjungi berbagai wilayah secara diam-diam guna mendengar sendiri keluhan langsung dari rakyat terhadap Pemerintah (Gottehrer:2000). Khalifah Umar kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah (Gilling:1998).

Dalam literatur-literatur tentang Ombudsman umumnya disebut bahwa ide pembentukan Institusi Ombudsman pertama kali datang dari Raja Charles XII (1697-1718) di Swedia setelah pada tahun 1709 melarikan diri ke Turki karena kalah perang dengan Rusia dalam The Great Northern War (1700-1721). sepulang dari perasingan tersebut, pada tahun 1718 Raja Charles XII memutuskan untuk membentuk Office of The King's Highest Ombudsman. keputusan Raja Charles XII membentuk Office of The King's Ombudsman terpengaruh dengan konsep pengawasan dalam sistem Turkish Offic of Chief Justice.

Demikian selanjutnya sistem pengawasan Ombudsman di Swedia terus mengalami perkembangan hingga secara resmi The King's Highest Ombudsman yang pada awalnya merupakan executive Ombudsman berkembang menjadi parlianmentary Ombudsman dengan dimasukkannya Ombudsman dalam Konstitusi Swedia Tahun 1809.selama satu setengah abad berlalu,institusi Ombudsman hanya dikenal di Swedia, dan baru setengah abad belakangan ini sistem Ombudsman menyebar ke berbagai penjuru dunia (Sujata dan Surachman: 2002:29).

walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang dan saat ini telah ada lebih dari seratus negara yang memiliki Ombudsman. Kurang lebih lima puluh negara bahkan telah mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam konstitusi,seperti antara lain Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan,Argentina, dan Meksiko. Thailand yang usia Ombudsman-nya notabene lebih muda dari komisi Ombudsman Nasional, telah lebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang Ombudsman dalam konstitusi.(Masturi:2004).

Di Indonesia sendiri wacana pembentukan Ombudsman telah berkembang lebih kurnag dua puluh tahun yang lalu, dan baru menjadi kenyataan pada tahun 2000. belum banyak buku yang menceritakan sejarah terbentuknya Ombudsman di Indonesia. satu-satunya rekaman yang dapat kita kutip adalah buku yang tertulis Antonius Sujata dkk pada tahun 2002 berjudul "ombudsman Indonesia, masa lalu, sekarang dan masa mendatang". dalam buku tersebut diceritakan bahwa pada awal November 1999 Presiden Republik Indonesia KH.Abudurrahman Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara yang sama sekali baru. Diskusi tersebut juga melibatkan Antonius Sujata seorang mantan Jampidsus pada saat Kejaksaan Agung dipimpin oleh Andi Ghalib. setelah melakukan serangkaian pembicara Gus Dur menyepakati sebuah konsep pengawasan untuk mendukung proses pemberantasan KKN yaitu Ombudsman.

Kemudian pada tnaggal 8 Desember 1999 Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomer 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyara keluar dari hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur,Marzuki Darusman dan Antonius Sujata. Keppres Nomor 155 tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman secara kongkrit tidak jadi dibentuk. hal ini dirasakan Antonius Sujata sebagai sangat lamban sementara desakan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian kuat. oleh karena itu pada tnaggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang kebaradaan Keppres Nomor 155 tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi hasil pembicara yang telah disepakati sebelumnya, sehingga akhirnya pada tanggal 10 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres (pengganti) nomor 44 tahun 2000 tentnag pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggita Ombudsman.(Sujata,et al: 2002:hal 2-4).


Berbeda dengan di Swedia, pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Ombudsman) di Indonesia dilatarbelakangi suasana transisi menuju demokrasi. dengan segala kekurangannya, bagaimanapun kita patut memuji keputusan Gus Dur karena telah berani membentuk Ombudsman sebagai lembaga yang diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan (termasuk dirinya sendiri) dan pelayanan umum lembaga peradilan. Tentunya saja kita tidak dapat mensejajarkan sejarah pembentuk Ombudsman Swedia dengan Ombudsman di Indonesia. Masing-masing memiliki nilai kesejarahannya sendiri-sendiri. tetapi setidaknya kita bisa melihat adanya kesamaan dalam hal kerendahan hati seorang pemimpin yang sedang berkuasa karena bersedia membentuk Ombudsman yang akan mengawasi dirinya sendiri. kita percaya saat Gus dur sadar betul bahwa Ombudsman yang ia bentuk tersebut nantinya dapat saja bersebrangan dengannya ketika ia membuat kebijakan ataupun keputusan baik yang bersifat administratif maupun politis.
dalam perkembangannya,meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden, Ombudsman memang tidak takut berbeda pendapat dengan Gus Dur sebagai Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Saat itu Gus dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. dalam hal ini, Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan menyatakan bahwa berdasarkan UU No.14 tqhun 1985 tentnag mahkamah Agung, khususnya pasal 8 ayat (1) yang pada dasrnya bersifat imperatif, maka semestinya Gus Dur selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara wajib menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternaitf tindakan lain yang dapat dilakukan GUs Dur sebagai seorang Presiden (Sajuta dan Surachman: 2003: 10-11). oleh karena itu kemudian Ombudsman memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur selaku Presiden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah diusulkan oleh DPR. dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan memilih Prof.Dr.Bagir Manan,S.H,MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di masyarakat.
sejak awal Ombudsman memilih bersikap low profile. sikap ini didasai atas pertimbangan bahwa Ombudsman masih dalam proses pembangunan kapasitas kerja dan cesara politis kedudukan Keputusan Presiden juga sangat rantan terhadap "fluktuasi" politik yang berkembang saat itu. Tindakan high profile tanpa didasari perhitungan matang justru akan menjadi kontra produktif bagi Ombudsman yang sedang membangun eksistensi. bagaimanapun, bila dibandingkan dengan Undang-Undnag, Keputusan Presiden lebih lemah kedudukannya karena dapat dan dengan mudah dicabut sewaktu-waktu. strategi low profile tersebut membuahkan hasil bagi semakin kuatnya dukungan terhadap eksistensi Ombudsman, dari mulai pencantuman ombudsman dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas. sampai dengan diterbitkannya TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 yang memberikan mandat kepada eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-Undnag Ombudsman.
Bahkan yang terakhir, komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR RI. usul pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukkan dalam pasal 24 G ayat (1),berbunyi : Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman Republik Indonesia adalah Ombudsman yang mandiri guna mngawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat. Dan ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan Undang-undang.
Sampai saat ini telah tebentuk dua lembaga Ombudsman Daerah di Indonesia. dalam catatan Ombudsman, setidaknya ada lebih dari dua puluh daerah yang berniat membentuk Ombudsman zdaerah. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi pertama yang membentuk lembaga Ombudsman daerah, dan Asahan (Sumatera Utara) adalah kabupaten pertama yang membentuk Ombudsman daerah. dalam waktu yang tidak terlalu lama diperkirakan Pangkalpinang (bangka Belitung) juga akan membentuk Ombudsman Daerah.
Ombudsman merupakan keniscayaan dalam sebuah negara demokratis yang didalamnya menempatkan transparasi publik sebagai faktor penting. sebagian kita mungkin bertanya-tanya apa hubungan Ombudsman dengan nama demokratis? sebelum diuraikan lebih lanjut perlu dipahami terlebih dahulu apakah makna demokrasi dan apa pula yang dimaksud transparasi publi. dalam kebanyakan literatur, secara sederhana demokrasi dapat difahami sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. dengan demikian demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang mengarahkan agar pemerintahan yang sedang berjalan secara sensitif fapat menangkap aspirasi, melibatkan partisipasi, dan mengutamakan kepentingan rakyat dari pada kepentingan penguasa. rakyat ditempatkan sebagai domain utama dalam pengertian demokrasi karena pada dasarnya mereka (rakyat) adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara.
Pada sistem pengawasan Ombudsman, pertisipasi adalah persyaratan penting dan menjadi mainstream utama. untuk mencapai tujuannya (mewujudkan good governance) Ombudsman di Indonesia bertugas antara lain mengupayakan partisipasi masyarakat dengan menciptakan keadaan yang kondusif bagi terwujudnya birokrasi sederhana yang bersih, pelayanan umum yang baik, penyelenggaraan peradilan yang efisien dan profesional termasuk proses peradilan (persidangan) yang independen dan fair sehingga dapat dijamin tidak akan ada keberpihakan (sajuta dan Surachman:2002:88).
Dengan demikian apa yang menjadi concern Ombudsman di indonesia pada dasarnya adalah bagian penitng dari prasarat terselenggaranya proses demokratisasi dan mendukung uapaya mewujudkan transparansu publik. lebih khusus lagi dalam proses demokratisasi di Indonesia Ombudsman merupakan bagian oenting dari upaya-upaya untuk mendorong adanya jaminan kebebasan memperoleh informasi,pengawasan yang efektif terhadap eksekutif (chek and balance system) dan penengakan hukum menjadikan keadilan sebagai isu pokok. jaminan kebebasan memperoleh infoemasi (termasuk kebebasan pers) sangat dibutuhkan dalam proses trasnsisi menuju demokrasi.Dengan demikian ini akan mendorong tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara, baik langsung maupun melalui Ombudsman.Oleh karena itu sudah tepat apabila pada tanggal 9 November 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan TAP MPR No.VII/MPR/2001 yang isinya memberikan mandat kepada Pemerintah dan DPR agar membuat undnag-undang anatara lain tentnag kebebasan memperoleh infoemasi, undnag-undnag Ombudsman dan undnag-undang perlindungan saksi. Meskipun MPR sudah memberi mandat sejak 2001, sayangnya ketiga UU tersebut sampai saat ini belum terwujud.
Selama lebih dari tiga dasawarsa dibawah rezim Orde Baru, peran kekuasaan pemerintah (eksekutif) sungguh amat domain sehingga masyarakat lebih banyak menjadi subjek yang diawasi daripada sebagai subjek yang mengawasi (sajuta dan Surachman : 2002:4). setelah kekuasaan rejim orde baru runtuh, proses demokratisasi mengalami masa transisi yang panjang dan berliku, pada masa itulah Ombudsman di Indonesia lahir dan menjadi bagian penting dalam sejarah transisi menuju demokrasi. kondisi transional seperti itu sebebnarnya memberikan peluang bagi ombudsman di Indonesia menjadi aktor penting yang ikut mendorong jalannya proses demokratisasi dan memperjuangkan jaminan adnaya transparasi publik dari pemerintahan dalam setiap proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Diposting oleh aditya s gates

0 komentar:

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates.
Distributed by Deluxe Templates